Minggu, 06 April 2014

Optimalisasi Pembelajaran Berbasis MBS



Sections not available
Zoom Out
Zoom In
Fullscreen
Exit Fullscreen
Select View Mode
View Mode
BookSlideshowScroll
Top of Form

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
  Pendidikan adalah pilar untuk menuju Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sebagai mana amanat dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah menetapkan standar nasional pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan ini merupakan standar minimal pelayanan pendidikan yang wajib diberikan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.  Kementerian Pendidikan Nasional telah menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar Di Kabupaten/Kota.  Standar pelayanan minimal pendidikan dasar (SPM pendidikan) adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan daerah kabupaten/kota. Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar sesuai SPM pendidikan merupakan kewenangan kabupaten /kota.   
 Pasal 5 Permendiknas No. 15 Tahun 2010 mengatur hal-hal sebagai berikut:
(1)     Bupati/Walikota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar sesuai dengan SPM pendidikan yang dilaksanakan oleh perangkat daerah kabupaten/kota dan masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)     Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar sesuai dengan SPM pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara operasional dikoordinasikan oleh dinas pendidikan kabupaten/ kota.
(3)     Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar sesuai dengan SPM pendidikan dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan.
Terkait dengan SPM pendidikan tersebut, maka terjadi perubahan paradigma dalam pengelolaan sekolah untuk memenuhi tuntutan peraturan Mendiknas tersebut. Perubahan ini diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi rendahnya kualitas proses dan hasil pendidikan di Indonesia pada umumnya dan kota Tarakan pada khususnya. yang berakibat pada rendahnya, rata-rata kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam konteks persaingan regional dan global. Namun demikian perubahan paradigma ini secara praktis  perlu waktu khususnya dalam konteks restrukturisasi sistem yang mengatur batas-batas tugas kewenangan antar instansi pengelola pendidikan, kemudian adaptasi sistem baru tersebut dalam praktik pengelolaan sekolah secara operasional, dan terakhir perubahan secara kultur yang sudah bertahun-tahun masyarakat kita terbiasa dan bahkan menikmati pola kekuasaan dibagi-bagi (sharing of power) antara daerah dan yang bermitra dengan masyarakat, baik sebagai client maupun user. Kepala Sekolah tidak semata-mata bertanya kepada kepala dinas di tingkat daerah, tetapi juga bertanya kepada komite sekolah  membahas program dengan mereka dan mempertanggung-jawabkan sebagai pelaksana program pada stakeholder tersebut.
  Paradigma baru dalam manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas secara efektif dan efesien, perlu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam hal ini pengembangan SDM merupakan proses peningkatan kemampuan manusia agar mampu melakukan pilihan-pilihan. Rumusan tersebut menunjukkan bahwa pengembangan SDM tidak hanya sekedar meningkatkan kemampuan, tetapi juga menyangkut pemanfaatan kemampuan tersebut. Saat ini kepala sekolah diberikan kewenangan luas dalam mengembangkan berbagai potensinya untuk itu diperlukan peningkatan kemampuan dalam berbagai aspek manajerialnya, agar dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi yang diemban sekolah.    
  Sebagai ilustrasi kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan melakukan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya di sekolah. Kemampuan ini diperlukan karena kalau dulu sekolah diberi bantuan dalam bentuk barang  atau sarana prasarana pendidikan yang kurang bermanfaat bagi sekolah oleh pemerintah, maka dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan bantuan langsung diberikan dalam bentuk uang, mau diapakan uang tersebut tergantung sepenuhnya kepada kepala sekolah, yang penting dia dapat mempertanggung jawabkannya secara profesional.
  Kepala sekolah merupakan salah satu komponen yang sangat berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti yang yang terdapat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah yang dinyatakan bahwa “Guru dapat diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan” sebagaimana yang terdapat pada Pasal 1 diantaranya dikatakan “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan sejak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Selain itu juga Pendidikan dan Pelatihan Calon Kepala Sekolah/ Madrasah adalah suatu tahapan dalam proses penyiapan calon kepala sekolah melalui pemberian pengalaman pembelajaran teoritik maupun praktik tentang kompetensi kepala sekolah dengan diakhiri dengan penilaian standar nasional.
  Kompetensi yang wajib dimiliki oleh calon kepala sekolah antara lain adalah pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada dimensi-dimensi komptensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan sosial. Kepala sekolah yang kompeten dan profesional sangat diperlukan untuk mengemban amanat Undang-undang No. 20 Tahun 2003.
  Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersurat bahwa Sistem Pendidikan Nasional Indonesia harus mencapai standar-standar nasional, dimulai dari Standar Isi, Standar Pengelolaan, Standar Kompetensi Siswa, Standar Kompetensi Guru, Standar Kompetensi Kepala Sekolah, Standar Kompetensi Pengawas, Standar Pembiayaan, Standar Sarana Prasarana yang kesemuanya itu adalah target yang masih harus dikejar agar dapat mencapai standar pendidikan yang layak dan bermutu sehingga dapat menghasilkan outcome yaitu peserta didik atau lulusan-lulusan semua tingkatan pendidikan yang mampu bersaing dan kompetitif hingga tingkat global.
  Namun, untuk mencapai hal-hal tersebut masih banyak kerja keras dan pembenahan pada sistem dan seluruh elemen yang menyangkut dan terkait dengan pemberdayaan dan pembangunan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kepala sekolah pun dituntut untuk bekerja keras menyelenggarakan dan mengelola pendidikan sehingga dapat menghasilkan lulusan yang memenuhi standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Pengelolaan sekolah dalam paradigma baru harus memenuhi prinsi-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu : otonomi (kemandirian), demokrasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Kepala sekolah perlu melibatkan masyarakat, orang tua dan stake holder dalam pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan yang dipimpinnya, agar sekolah dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh sekolah.

         Secara historis Kota Tarakan sudah dikenal pada tahun 1896 sejak ditemukannya sumur minyak oleh BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) seiring dengan perkembangan wilayah ini maka pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda menempatkan Asisten Residen di Pulau ini yang membawahi 5 (lima) wilayah yakni: Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau. Namun pada masa pasca kemerdekaan, Pemerintah RI merasa perlu untuk merubah status kewedanaan Tarakan sesuai dengan Keppres RI No. 22 Tahun 1963. Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan kecamatan Tarakan sebagai salah satu sentra industri di wilayah Kaltim bagian utara sehingga Pemeritah meningkatkan statusnya menjadi Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1981.
          Status Kotif kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan Undang-Undang RI No.29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus menandai tanggal tersebut sebagai Hari Jadi Kota Tarakan, dan sekarang Kota Tarakan telah genap berusia 13 Tahun yang telah diramaikan dengan Karnaval Budaya pada tanggal 12 Desember yang lalu diikuti oleh semua sekolah dan segenap unsur masyarakat didalamnya.     
         Kota Tarakan  sebagai kota yang tengah berkembang pesat, lambat laun dipandang sebagai barometer pendidikan di wilayah Utara Kalimantan  Timur sudah sepantasnya berada dilini terdepan untuk menghasilkan  layanan pendidikan bagi publik secara bermutu, terjangkau dan bermartabat. Sehingga dengan pembenahan dan pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di semua tingkatan dari TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK baik itu yang dikelola oleh Negeri (Pemerintah) maupun yang dikelola oleh sektor swasta agar dapat bersinergis dan bahu-membahu untuk mewujudkan tujuan suci dari konstitusi UUD 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Berdasarkan latar belakang tersebut maka makalah ini dibuat dengan judul Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan  Melalui Optimalisiasi Partisipasi Masyarakat Sebagai Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah  Di Kota Tarakan

B.  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini :
Memberikan langkah konkret dan relevan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Kota Tarakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah sehingga dapat mencapai standar pelayanan minimal, melalui optimalisasi peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan di sekolah.
    
C. Rumusan Masalah
1.        Apakah standar pelayanan minimal itu?
2.        Apakah Manajemen Berbasis Sekolah itu?
3.        Apa tugas dan peran seorang kepala sekolah?
4.        Bagaimana usaha meningkatkan mutu pendidikan di Tarakan melalui   optimalisasi partisipasi masyarakat sehingga dapat mencapai standar  pelayanan minimal?

D.  Tujuan yang ingin dicapai
1.        Untuk mengetahui konsep standar pelayanan minimal di bidang pendidikan, khususnya di sekolah.
2.        Untuk mengetahui konsep manajemen berbasis sekolah yang akan diterapkan di sekolah.
3.        Untuk mengetahui apa tugas dan peran seorang kepala sekolah
4.        Untuk mengetahui usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Tarakan melalui optimalisasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah.

E.  Manfaat
                   Manfaat dari makalah ini :
          Memberikan langkah alternatif untuk meningkatkan mutu pendidikan di Tarakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah khususnya dalam mengotimalkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah sehingga dapat mencapai standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Tarakan
BAB II
PEMBAHASAN 
    A. Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar.
     Untuk menjamin tercapainya mutu pendidikan yang diselenggarakan daerah, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar, yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010.  Standar pelayanan minimal pendidikan dasar  (SPM) merupakan tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar,  sekaligus  sebagai acuan dalam perencanaan program dan penganggaran pencapaian target masing-masing daerah kabupaten/kota. Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar merupakan kewenangan kabupaten/kota. di dalamnya mencakup: (a) pelayanan pendidikan dasar oleh kabupaten/kota dan; (b)  pelayanan pendidikan dasar oleh satuan pendidikan:
1.  Pelayanan Pendidikan Dasar oleh Kabupaten/Kota:
1)        Tersedia satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs dari kelompok permukiman permanen di daerah terpencil;
2)        Jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar untuk SD/MI tidak melebihi 32 orang, dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 orang. Untuk setiap rombongan belajar tersedia 1 (satu) ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk peserta didik dan guru, serta papan tulis;
3)        Di setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan eksperimen peserta didik;
4)        Di setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedia satu ruang guru yang dilengkapi dengan meja dan kursi untuk setiap orang guru, kepala sekolah dan staf kependidikan lainnya; dan di setiap SMP/MTs tersedia ruang kepala sekolah yang terpisah dari ruang guru.
5)        Di setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang guru setiap satuan pendidikan;
6)        Di setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran;
7)        Di setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik;
8)        Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV sebanyak 70% dan separuh diantaranya (35% dari keseluruhan guru) telah memiliki sertifikat pendidik, untuk daerah khusus masing-masing sebanyak 40% dan 20%;
9)        Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik masing-masing satu orang untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris;
10)    Di setiap Kabupaten/Kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
11)    Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
2. Di setiap kabupaten/kota semua pengawas sekolah dan madrasah memiliki    kualifikasi  akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
1)      Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif; dan
2)      Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap bulan dan setiap kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan.

      
  3. Pelayanan Pendidikan Dasar oleh Satuan Pendidikan:
1)        Setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik;
2)        Setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk setiap perserta didik;
3)        Setiap SD/MI menyediakan satu set peraga IPA dan bahan yang terdiri dari model kerangka manusia, model tubuh manusia, bola dunia (globe), contoh peralatan optik, IPA untuk eksperimen dasar, dan poster/carta IPA;
4)        Setiap SD/MI diharapkan memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi, dan setiap SMP/MTs diharapkan memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 buku referensi;
5)        Setiap guru tetap bekerja minimal 24 jam  per minggu di satuan pendidikan, termasuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing atau melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan;
6)        Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34 minggu per tahun dengan kegiatan tatap muka sebagai berikut : (a) Kelas I – II : 18 jam per minggu; (b) Kelas III : 24 jam per minggu; (c) Kelas IV – VI : 27 jam per minggu; atau  (d) Kelas VII – IX : 27 jam per minggu;
7)        Satuan pendidikan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sesuai ketentuan yang berlaku;
8)        Setiap guru menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan silabus untuk setiap mata pelajaran yang diampunya;
9)        Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik;
10)    Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan balik kepada guru dua kali dalam setiap semester;
11)    Setiap guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta hasil penilaian setiap peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir semester dalam bentuk laporan hasil prestasi belajar peserta didik;
12)    Kepala sekolah atau madrasah menyampaikan laporan hasil ulangan akhir semester (UAS) dan Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) serta ujian akhir (US/UN) kepada orang tua peserta didik dan menyampaikan rekapitulasinya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota pada setiap akhir semester; dan
13)    Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS).
         Selain jenis pelayanan pendidikan di atas,  di kabupaten/kota tertentu wajib menyelenggarakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan, karakteristik, dan potensi daerah.
   B.  Manajemen Berbasis Sekolah.
      Telah banyak usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
1.         Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.
2.         Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
3.         Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management).
     Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan. Beberapa perubahan tersebut antara lain, Orientasi manajemen yang sarwa negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul.
1.         Orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis.
2.         Sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
3.         Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya (boundaryless organization) akibat pengaruh dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.
4.         Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan.
 Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Disamping itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi terinci sbb:
1.        tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
2.        anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
3.        ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
4.        penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat.
5.        tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
      Desentralisasi pendidikan, mencakup tiga hal, yaitu;
1.    manajemen berbasis lokasi (site based management).
2.    pendelegasian wewenang
3.    inovasi kurikulum.
    Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekwensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada kurikulum 2006 yang telah diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal.  Daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan Silabus  dalam acuan untuk menyusun RPP nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
    Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe.
  Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional. Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.
Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciri-ciri MBS, bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan SDM, proses belajar-mengajar dan sarana prasarana yang tersedia hingga bisa memanfaatkan ketersediaan sarana untuk dikembangkan. Maka sebagai acuan sekolah yang memiliki Karakteristik Managemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai berikut: Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen yang harus dimilikinya, yaitu:
1.        kharisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara Kepala Sekolah dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja.
2.        memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya.
3.        memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual terhadap staf. Kepala Sekolah  mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru.
4.        Dengan demikian, MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Tetapi semua ini harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab (high responsibility), kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih (more authority) serta dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh yang ber-kepentingan/tanggung gugat (public accountability by stake holders).
C. Tujuan, Kelebihan Dan Kekurangan Manajemen Berbasis Sekolah.
          Batasan    Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mentransfer signifikan otoritas pengambilan keputusan dari pusat ke setiap sekolah. MBS memberikan kepala sekolah, guru, siswa, dan orangtua kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dengan memberikan mereka tanggung jawab atas keputusan-keputusan tentang anggaran, personil, dan kurikulum.  Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
          Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat    bersama dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan sekolah. Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan kunci ini, MBS dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif untuk peserta didik.
1.    Tujuan dari Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) antara lain:
1)   Menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut.
2)   Mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan masukan pendidikan yang akan dikembangkan.
3)   Mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya.
4)   Bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah.
5)   Persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.
6)   Meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) untuk mendukung kinerja sekolah.
7)   Menyusun dan melaksanakan program sekolah yang mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (pelaksanaan kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
8)   Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil, dan fasilitas).
9)   Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
10)    Menjamin terpeliharanya fasilitas dan sumber daya yang ada di sekolah dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
11)    Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
12)    Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.
13)    Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: Kepala Sekolah, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat, dll).
14)    Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.
15)    Tujuan utama Manjemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan.
16)    Dengan adanya MBS sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri.
2.    Kelebihan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).Menurut American Association of School Administrators (AASA), Asosiasi Nasional Kepala Sekolah Dasar (NAESP), National Association of Secondary School Principals (NASSP), dan sumber-sumber lain, manajemen berbasis sekolah dapat:
1)        Memungkinkan individu-individu yang kompeten di sekolah untuk membuat keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2)        Berikan seluruh komunitas sekolah suara dalam keputusan-keputusan penting.
3)        Fokus akuntabilitas pengambilan keputusan.
4)        Mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam perancangan program sumber daya untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5)        Mengakibatkan penganggaran realistis sebagai orangtua dan guru menjadi lebih sadar akan status keuangan sekolah, batasan pembelanjaan, dan biaya dari program.
6)        Meningkatkan semangat guru dan memelihara kepemimpinan baru di semua tingkatan.
7)        Memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin.
8)        Memfasilitasi warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali.
9)        Mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya.
10)    Memberikan tanggungjawab kepada warganya.
11)    Mendorong setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil kerjanya.
12)    Mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya.
13)    Merespon dengan cepat terhadap pasar (pelanggan).
14)    Mengajak warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused.
15)    Mengajak warganya untuk nikmat/siap berhadap perubahan.
16)    Mendorong warganya untuk berfikir sistem, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya.
17)    Mengajak warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas".
18)    Mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus.
19)    Melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah.

3.    Kekurangan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
      Sebaik apapun program yang telah dibuat tentu tidak luput dari kekurangan-kekurangannya. Beberapa kekurangan/hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut:
1)   Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2)   Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3)   Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4)   Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5)   Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6)   Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
         D. Tugas dan Peran Kepala Sekolah.
         Di dalam menjalankan tugas, kepala sekolah adalah seorang pemimpin atau seorang manager yang perlu mengetahui fungsi-fungsi manajemen. Kepala sekolah wajib membuat suatu perencanaan sekolah setiap tahunnya. Perencanaan program sekolah tersebut yang menyangkut tujuan yang dicapai, materi belajar baik yang bersifat akademis maupun yang bersifat praktis, serta perencanaan tenaga pendidik baik yang ada maupun yang harus dikontrak dari luar seperti tenaga pengajar keterampilan. Kemudian kepala sekolah perlu melakukan pengawasan atau penilaian serta pengendalian terhadap seluruh kegiatan di sekolah sesuai dengan program yang telah ditentukan setiap harinya. Misalnya jika seorang guru kurang disiplin, kurang memberikan pananaman nilai-nilai atau urang menguasai ilmu yang diajarkan, maka kepala sekolah perlu mengambil tindakan perbaikan. Kepala sekolah dapat  juga melakukan pertemuan setiap harinya setelah jam sekolah selesai atau setiap awal bulan untuk membicarakan/mengevaluasi kembali berbagai hal sebagai pelaksanaan tugas supervisi.
         Selain bertugas sebagai kepala sekolah juga mempunya tugas sebagai seorang guru. Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas fungsi sekolah adalah seorang yang profesioanal. Artinya seorang guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas pembelajaran, dan edukasi. Di dalam melaksanakan tugas pembelajaran, guru harus menguasai ilmu yang diajarkan, menguasai berbagai metode pengajaran, dan mengenal anak didiknya baik secara lahiriah atau batiniah (memahami setiap anak).
          Dalam pengenalan anak, guru dituntut untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak, lingkungan anak, dan tentunya mengetahui kelemahan-kelemahan anak secara psikologis. Untuk itu, guru harus dapat menjadi seorang "dokter" yang dapat melakukan "diagnosa" untuk menemukan kelemahan-kelemahan si anak sebelum mengajarkan ilmu yang telah dikuasainya. Setelah itu, baru dia akan memilih metode atau mengulangi sesuatu topik sebagai dasar untuk memudahkan pemahaman si anak terhadap ilmu yang akan diajarkan.
         Misalnya seorang guru matematika akan mengajarkan topik pangkat bilangan, tentunya guru harus mengetahui sejauh mana anak telah menguasai konsep perkalian. Dengan demikian, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus mampu; (1) berkomunikasi dengan baik terhadap siapa audiensnya, (2) melakukan kajian sederhana khususnya dalam pengenalan anak, (3) menulis hasil kajiannya, (4) menyiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan persiapan mengajarnya termasuk sipat tampil menarik dan bertingkah laku sebagai guru, menguasai ilmunya dan siap menjawab setiap pertanyaan dari anak didiknya, (5) menyajikan, meramu materi ajar secara konkrit (metode pengajaran), (6) menyusun dan melaksanakan materi penilaian secara objektif sesuai dengan taksonomi Bloom dan mengoreksinya setiap harinya, dan lain sebagainya.
       
           Untuk itu, dituntut kreatifitas guru, keprofesionalan guru, memegang etika guru dan tentunya dedikasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas keguruannya.  Jika hal ini dilakukan oleh masing-masing guru maka benarlah bahwa pekerjaan  guru adalah pekerjaan profesional yang tak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain. Sementara itu kepala sekolah merupakan orang tua bagi guru dan anak didiknya, salah satu hal penting yang dilakukan orang tua sebagai perwujudan tanggung jawabnya adalah dengan menyekolahkan putra-putrinya. Melalui sekolah orang tua berharap putra- putrinya dapat berkembang dengan baik, dari segi kemampuan akademik maupun kepribadian (moral, sikap, dan tingkah laku). Orang tua menyerahkan anaknya kepada guru di sekolah untuk dididik dan di ajar, namun tidak diserahkan begitu saja tetapi masih tetap mengawasi.
           Guru juga patut mengubah paradigma peran guru, karena gurulah yang berada di garda terdepan dalam menciptakan sumber daya manusia. Guru berhadapan langsung dengan para peserta didik di kelas melalui proses pembelajaran, oleh karena itu diperlukan sosok guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi, dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya ( Kusnandar, 2007:40)

     E.  Optimalisasi Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sekolah
         Salah satu standar pelayanan minimal yang wajib dipenuhi oleh satuan pendidikan/sekolah adalah, bahwa Setiap satuan pendidikn menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS). Prinsip MBS ini antara lain adalah otonomi sekolah (kemandirian), demokrasi, partisipasi, dan akuntabilitas.
         Agar sekolah dapat menyelenggarakan dan mengelola pendidikan sesuai dengan SPM, maka selain dukungan dari pemerintah kota Tarakan melalui Dinas Pendidikan, maka sekolah harus mendapat dukungan dari masyarakat, yaitu orang tua siswa, masyarakat dan stake holder pendidikan di Kota Tarakan. Dukungan atau partisipasi orang tua, masyarakat dan stake holder ini dapat berbentuk finansial (dana) atau yang dapat disetarakan dengan dana, dan berbentuk non-finansial.
        Selama ini partisipasi kepada sekolah selalu diasosiasikan atau dikaitkan dengan dana, uang, atau sumbangan-sumbangan, atau pungutan-pungutan dari orang tua . Memang sekolah memerlukan dana untuk melaksanakan program-programnya, misalnya untuk kegiatan ekstrakurikuler, bimbingan belajar menghadapi ujian nasional, kegiatan praktikum atau uji kompetensi, bahkan untuk ulangan atau ujian. Sekolah sesungguhnya tidak perlu memungut dari orang tua apabila pemerintah menyediakan semua dana yang diperlukan oleh sekolah agar dapat beroperasi secara maksimal. Manakala semua kebutuhan akan dana untuk kepentingan operasional sekolah dan/atau untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang mutu sudah disediakan oleh pemerintah, maka sekolah tidak perlu memungut lagi dari orangtua siswa. Demikian juga jika kebutuhan untuk pembangunan sekolah, pengembangan sekolah, pengadaan sarana prasarana sekolah, dan seluruh kebutuhan yang telah ditetapkan dalam SPM sudah dipenuhi oleh pemerintah, maka sekolah tidak perlu meminta sumbangan dari orangtua. Dengan demikian sekolah gratis sudah dapat direalisiasikan.
         Akan tetapi kenyataannya, tidak semua pemerintah daerah memiliki dana yang cukup untuk memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan, sehingga sekolah dilarang untuk memungut atau meminta sumbangan dari orangtua. Walaupun pemerintah pusat sudah menyediakan dana BOS dan pemerintah daerah sudah menyediakan dana BOSDA, namun jumlah kedua dana BOS dan BOSDA tersebut  masih dirasakan minim untuk sekolah yang ditargetkan agar menghasilkan mutu pendidikan yang tinggi.
         Oleh karena itu, mengingat keterbatasan pendanaan yang disediakan oleh pemerintah, dan larangan untuk memungut dana dari orangtua siswa, maka sekolah harus bisa menggalang partisipasi finansial dari masyarakat dan perusahaan-perusahan yang ada di sekitar untuk keperluan penyelenggaraan pendidikan. Kepala sekolah bersama dengan komite sekolah perlu menjalin kemitraan dengan masyarakat dan perusahaan agar mereka memberikan bantuan baik dana  untuk peningkatan mutu pendidikan, untuk beasiswa, bagi siswa dan guru, untuk kegiatan pendidikan tertentu. Sehingga dengan bantuan tersebut sekolah dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memenuhi SPM satuan pendidikan, dan tidak memberatkan orangtua siswa, karena sekolah tidak memungut dana dari orangtua. Oleh karena itu, kepala sekolah dengan kompetensi kewirausahaannya dapat melakukan dan mencari terobosan bersama dengan Komite Sekolah untuk membuat kemitraan dengan masyarakat dan perusahaan dalam bentuk kesepakatan kerjasama antara pihak-pihak terkait.
           Partisipasi dari orangtua masih dapat digalang oleh sekolah dalam bentuk partisipasi non-finansial. Orangtua dapat memberikan tenaga dan pikirannya atau keahliannya untuk memajukan sekolah, atau membantu melakukan kegiatan tertentu dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk dalam perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, sehingga sekolah dapat berjalan dengan baik.
Partisipasi orangtua dalam bentuk non-finansial dan partisipasi masyarakat dan stakeholder dalam bentuk finansial ini sejalan dengan salah satu prinsip MBS, yaitu partisipasi. Tanpa adanya partisipasi, baik finansial atau non-finansial, maka MBS menjadi pincang, tidak kokoh dan tidak bisa berjalan dengan maksimal. Oleh karena itu, kepala sekolah harus bisa mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidkan agar SPM di satuan pendidikan dapat tercapai.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
          Pada hakikatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi sebagai pemersatu bangsa, penyamaan kesempatan, dan pengembangan potensi diri. Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya.
           Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tersebut mencakup 8 (delapan) lingkup, yaitu: Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana Prasarana, Standar Pembiayaan, dan Standar Pembiayaan Pendidikan. Semuanya itu bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat.
          Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu bagian strategi dari sekian banyak strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus menerus untuk meningkatkan mutu pendidikan yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah, sangat diperlukan pada era pembangunan maka tidak salah kalau manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diterapkan dimasing-masing sekolah dengan alasan MBS sudah lama diterapkan di negara Eropa dan Amerika dan terbukti efektif.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan  menghilangkan ororitas pengambilan keputusan dari pusat ke setiap sekolah, dengan MBS proses sekolah akan tersusun sesuai kebutuhan masing-masing sekolah.
          Berkaitan dengan tugas dan perannya dapat dikatakan bahwa tupoksi kepala sekolah sangatlah berat sehingga kepala sekolah disebut sebagai EMASLIM, yakni Kepala Sekolah sebagai Educator (Pendidik), Manager (Menyusun Program, organisasi kepegawaian, menggerakkan staf, mengoptimalkan  SDM), Administrator (Penatalaksanaan administrasi), Supervisor (upaya untuk membantu dan mengembangkan profesional guru dalam menyusun, melaksanakan, dan memanfaatkan hasil supervisi), Leader (Pemimpin), Inovator (adalah sosok pribadi yang dinamis, kreatif), dan Motivator (pemberi semangat/dorongan untuk seluruh komponen pendidikan dengan kemampuan mengatur lingkungan, suasana kerja, menerapkan prinsip, memberi penghargaan, dan hukuman/sanksi).

B.     Saran:
          Diharapkan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan melalui pemberdayaan sekolah dalam rangka menjalankan program MBS, agar selalu mengadakan kerjasama dengan komite sekolah, orang tua peserta didik dalam upaya lebih mengoptimalkan program MBS sehingga akan  lebih meningkatkan pelayanan standar minimal di sekolah.  Program MBS akan terlaksana apabila didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, integritas, dan kemauan yang tinggi karena jika tidak MBS hanya akan menjadi eforia semata.

DAFTAR PUSTAKA
Akib, Zainal, dan Rohmanto, Elham, 2007. Membangun Profesionalisme Guru Dan  Pengawas Sekolah. Bandung: CV. Yrama Widya.
http://agupenajateng.net/2009/03/06/menjadi-kepala-sekolah-baru/
Kusnandar, 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
 Profil Kota Tarakan,2009. Tarakan Bumi Paguntaka. Tarakan: Humas dan     Komonikasi


















1 komentar:

  1. Lucky Club Live: Review, Sign-Up Offer & Welcome Bonus
    Lucky Club is luckyclub a live betting website that offers a wide range of sports, table games, poker and games to its punters. This site is licensed and operated

    BalasHapus