BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan
adalah pilar untuk menuju Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sebagai mana amanat
dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah menetapkan standar
nasional pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan ini
merupakan standar minimal pelayanan pendidikan yang wajib diberikan oleh
pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kementerian Pendidikan Nasional telah
menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar
Di Kabupaten/Kota. Standar pelayanan
minimal pendidikan dasar (SPM pendidikan) adalah tolok ukur kinerja pelayanan
pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan daerah
kabupaten/kota. Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar sesuai SPM
pendidikan merupakan kewenangan kabupaten /kota.
Pasal 5 Permendiknas No. 15 Tahun 2010 mengatur hal-hal sebagai berikut:
(1)
Bupati/Walikota
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar sesuai
dengan SPM pendidikan yang dilaksanakan oleh perangkat daerah kabupaten/kota
dan masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Penyelenggaraan
pelayanan pendidikan dasar sesuai dengan SPM pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara operasional dikoordinasikan oleh dinas pendidikan
kabupaten/ kota.
(3)
Penyelenggaraan
pelayanan pendidikan dasar sesuai dengan SPM pendidikan dilakukan oleh pendidik
dan tenaga kependidikan sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang
dibutuhkan.
Terkait dengan
SPM pendidikan tersebut, maka terjadi perubahan paradigma dalam pengelolaan
sekolah untuk memenuhi tuntutan peraturan Mendiknas tersebut. Perubahan ini
diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi rendahnya kualitas proses dan
hasil pendidikan di Indonesia pada umumnya dan kota Tarakan pada khususnya.
yang berakibat pada rendahnya, rata-rata kualitas sumber daya manusia Indonesia
dalam konteks persaingan regional dan global. Namun demikian perubahan
paradigma ini secara praktis perlu waktu
khususnya dalam konteks restrukturisasi sistem yang mengatur batas-batas tugas
kewenangan antar instansi pengelola pendidikan, kemudian adaptasi sistem baru
tersebut dalam praktik pengelolaan sekolah secara operasional, dan terakhir
perubahan secara kultur yang sudah bertahun-tahun masyarakat kita terbiasa dan
bahkan menikmati pola kekuasaan dibagi-bagi (sharing of power) antara daerah dan yang bermitra dengan
masyarakat, baik sebagai client maupun
user. Kepala Sekolah tidak semata-mata bertanya kepada kepala
dinas di tingkat daerah, tetapi juga bertanya kepada komite sekolah membahas program dengan mereka dan
mempertanggung-jawabkan sebagai pelaksana program pada stakeholder tersebut.
Paradigma baru dalam manajemen pendidikan dalam rangka
meningkatkan kualitas secara efektif dan efesien, perlu didukung oleh sumber
daya manusia yang berkualitas. Dalam hal ini pengembangan SDM merupakan proses
peningkatan kemampuan manusia agar mampu melakukan pilihan-pilihan. Rumusan
tersebut menunjukkan bahwa pengembangan SDM tidak hanya sekedar meningkatkan
kemampuan, tetapi juga menyangkut pemanfaatan kemampuan tersebut. Saat ini
kepala sekolah diberikan kewenangan luas dalam mengembangkan berbagai potensinya
untuk itu diperlukan peningkatan kemampuan dalam berbagai aspek manajerialnya,
agar dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi yang diemban
sekolah.
Sebagai ilustrasi kepala sekolah dituntut untuk memiliki
kemampuan melakukan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya di sekolah.
Kemampuan ini diperlukan karena kalau dulu sekolah diberi bantuan dalam bentuk
barang atau sarana prasarana pendidikan
yang kurang bermanfaat bagi sekolah oleh pemerintah, maka dalam konteks
otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan bantuan langsung diberikan dalam
bentuk uang, mau diapakan uang tersebut tergantung sepenuhnya kepada kepala
sekolah, yang penting dia dapat mempertanggung jawabkannya secara profesional.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen yang sangat
berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti yang yang terdapat
pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan
Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah yang dinyatakan bahwa “Guru dapat
diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan” sebagaimana yang terdapat pada Pasal 1 diantaranya dikatakan “Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
sejak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah”. Selain itu juga Pendidikan dan Pelatihan Calon Kepala Sekolah/
Madrasah adalah suatu tahapan dalam proses penyiapan calon kepala sekolah
melalui pemberian pengalaman pembelajaran teoritik maupun praktik tentang
kompetensi kepala sekolah dengan diakhiri dengan penilaian standar nasional.
Kompetensi yang wajib dimiliki oleh calon kepala sekolah
antara lain adalah pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada dimensi-dimensi
komptensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan sosial. Kepala
sekolah yang kompeten dan profesional sangat diperlukan untuk mengemban amanat
Undang-undang No. 20 Tahun 2003.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersurat bahwa
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia harus mencapai standar-standar nasional,
dimulai dari Standar Isi, Standar Pengelolaan, Standar Kompetensi Siswa,
Standar Kompetensi Guru, Standar Kompetensi Kepala Sekolah, Standar Kompetensi
Pengawas, Standar Pembiayaan, Standar Sarana Prasarana yang kesemuanya itu adalah target yang masih harus dikejar agar
dapat mencapai standar pendidikan yang layak dan bermutu sehingga dapat
menghasilkan outcome yaitu peserta
didik atau lulusan-lulusan semua tingkatan pendidikan yang mampu bersaing dan
kompetitif hingga tingkat global.
Namun, untuk mencapai hal-hal tersebut masih banyak kerja
keras dan pembenahan pada sistem dan seluruh elemen yang menyangkut dan terkait
dengan pemberdayaan dan pembangunan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Kepala sekolah pun dituntut untuk bekerja keras menyelenggarakan dan mengelola
pendidikan sehingga dapat menghasilkan lulusan yang memenuhi standar mutu yang
ditetapkan pemerintah. Pengelolaan sekolah dalam paradigma baru harus memenuhi
prinsi-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu : otonomi (kemandirian),
demokrasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Kepala sekolah perlu melibatkan
masyarakat, orang tua dan stake holder
dalam pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan yang dipimpinnya, agar
sekolah dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
oleh sekolah.
Secara historis Kota Tarakan sudah
dikenal pada tahun 1896 sejak ditemukannya sumur minyak oleh BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) seiring
dengan perkembangan wilayah ini maka pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda
menempatkan Asisten Residen di Pulau ini yang membawahi 5 (lima) wilayah yakni:
Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau. Namun pada masa pasca
kemerdekaan, Pemerintah RI merasa perlu untuk merubah status kewedanaan Tarakan
sesuai dengan Keppres RI No. 22 Tahun 1963. Letak dan posisi yang strategis
telah mampu menjadikan kecamatan Tarakan sebagai salah satu sentra industri di
wilayah Kaltim bagian utara sehingga Pemeritah meningkatkan statusnya menjadi
Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1981.
Status Kotif kembali ditingkatkan
menjadi Kotamadya berdasarkan Undang-Undang RI No.29 Tahun 1997 yang
peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 15
Desember 1997, sekaligus menandai tanggal tersebut sebagai Hari Jadi Kota
Tarakan, dan sekarang Kota Tarakan telah genap berusia 13 Tahun yang telah
diramaikan dengan Karnaval Budaya pada tanggal 12 Desember yang lalu diikuti
oleh semua sekolah dan segenap unsur masyarakat didalamnya.
Kota
Tarakan sebagai kota yang tengah
berkembang pesat, lambat laun dipandang sebagai barometer pendidikan di wilayah
Utara Kalimantan Timur sudah sepantasnya
berada dilini terdepan untuk menghasilkan
layanan pendidikan bagi publik secara bermutu, terjangkau dan
bermartabat. Sehingga dengan pembenahan dan pengelolaan penyelenggaraan
pendidikan di semua tingkatan dari TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK baik itu
yang dikelola oleh Negeri (Pemerintah) maupun yang dikelola oleh sektor swasta
agar dapat bersinergis dan bahu-membahu untuk mewujudkan tujuan suci dari
konstitusi UUD 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Berdasarkan latar
belakang tersebut maka makalah ini dibuat dengan judul Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan
Melalui Optimalisiasi Partisipasi Masyarakat Sebagai Implementasi
Manajemen Berbasis Sekolah Di Kota
Tarakan
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini :
Memberikan langkah konkret dan relevan
untuk meningkatkan mutu pendidikan di Kota Tarakan melalui penerapan manajemen
berbasis sekolah sehingga dapat mencapai standar pelayanan minimal, melalui
optimalisasi peran
serta atau
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan di sekolah.
C. Rumusan Masalah
1.
Apakah standar pelayanan minimal itu?
2.
Apakah Manajemen Berbasis Sekolah itu?
3.
Apa tugas dan peran seorang kepala
sekolah?
4.
Bagaimana
usaha meningkatkan mutu pendidikan di Tarakan melalui optimalisasi partisipasi masyarakat sehingga
dapat mencapai standar pelayanan minimal?
D.
Tujuan yang ingin dicapai
1.
Untuk mengetahui konsep standar
pelayanan minimal di bidang pendidikan, khususnya di sekolah.
2.
Untuk mengetahui konsep manajemen
berbasis sekolah yang akan diterapkan di sekolah.
3.
Untuk mengetahui apa tugas dan peran
seorang kepala sekolah
4.
Untuk mengetahui usaha untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Tarakan melalui optimalisasi partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sekolah.
E.
Manfaat
Manfaat dari makalah ini :
Memberikan langkah alternatif untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Tarakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah
khususnya dalam mengotimalkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah sehingga dapat
mencapai standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Tarakan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Standar Pelayanan Minimal
Pendidikan Dasar.
Untuk menjamin tercapainya mutu pendidikan yang
diselenggarakan daerah, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah
menetapkan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar, yang dituangkan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010. Standar pelayanan minimal pendidikan
dasar (SPM) merupakan tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan
dasar, sekaligus sebagai acuan dalam perencanaan program dan
penganggaran pencapaian target masing-masing daerah kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar merupakan kewenangan kabupaten/kota.
di dalamnya mencakup: (a) pelayanan pendidikan dasar oleh
kabupaten/kota dan; (b) pelayanan pendidikan dasar oleh satuan pendidikan:
1.
Pelayanan Pendidikan Dasar oleh Kabupaten/Kota:
1)
Tersedia
satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan kaki yaitu
maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs dari kelompok permukiman
permanen di daerah terpencil;
2)
Jumlah
peserta didik dalam setiap rombongan belajar untuk SD/MI tidak melebihi 32
orang, dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 orang. Untuk setiap rombongan
belajar tersedia 1 (satu) ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi
yang cukup untuk peserta didik dan guru, serta papan tulis;
3)
Di
setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja
dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan
praktek IPA untuk demonstrasi dan eksperimen peserta didik;
4)
Di
setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedia satu ruang guru yang dilengkapi dengan meja
dan kursi untuk setiap orang guru, kepala sekolah dan staf kependidikan
lainnya; dan di setiap SMP/MTs tersedia ruang kepala sekolah yang terpisah dari
ruang guru.
5)
Di
setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6
(enam) orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4
(empat) orang guru setiap satuan pendidikan;
6)
Di
setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan
untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata
pelajaran;
7)
Di
setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1
atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik;
8)
Di
setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV sebanyak
70% dan separuh diantaranya (35% dari keseluruhan guru) telah memiliki
sertifikat pendidik, untuk daerah khusus masing-masing sebanyak 40% dan 20%;
9)
Di
setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan
telah memiliki sertifikat pendidik masing-masing satu orang untuk mata
pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris;
10)
Di
setiap Kabupaten/Kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV
dan telah memiliki sertifikat pendidik;
11)
Di
setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi akademik S-1 atau
D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
2. Di setiap kabupaten/kota semua
pengawas sekolah dan madrasah memiliki
kualifikasi
akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
1) Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan
melaksanakan kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan
kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif; dan
2) Kunjungan
pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap bulan dan setiap
kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan.
3. Pelayanan Pendidikan Dasar oleh Satuan
Pendidikan:
1)
Setiap
SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah
mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS dengan
perbandingan satu set untuk setiap peserta didik;
2)
Setiap
SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh
Pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk
setiap perserta didik;
3)
Setiap
SD/MI menyediakan satu set peraga IPA dan bahan yang terdiri dari model
kerangka manusia, model tubuh manusia, bola dunia (globe), contoh peralatan
optik,
IPA untuk eksperimen dasar, dan poster/carta IPA;
4)
Setiap
SD/MI diharapkan memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi, dan
setiap SMP/MTs diharapkan memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 buku
referensi;
5)
Setiap
guru tetap bekerja minimal 24 jam per minggu
di satuan pendidikan, termasuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing atau melatih peserta
didik, dan melaksanakan tugas tambahan;
6)
Satuan
pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34 minggu per tahun
dengan kegiatan tatap muka sebagai berikut : (a) Kelas I – II : 18 jam per
minggu; (b) Kelas III : 24 jam per minggu; (c) Kelas IV – VI : 27 jam per
minggu; atau (d) Kelas VII – IX : 27 jam per minggu;
7)
Satuan
pendidikan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sesuai
ketentuan yang berlaku;
8)
Setiap
guru menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan
silabus untuk setiap mata pelajaran yang diampunya;
9)
Setiap
guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk membantu meningkatkan
kemampuan belajar peserta didik;
10)
Kepala
sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan balik kepada guru dua
kali dalam setiap semester;
11)
Setiap
guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta hasil penilaian
setiap peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir semester dalam bentuk
laporan hasil prestasi belajar peserta didik;
12)
Kepala
sekolah atau madrasah menyampaikan laporan hasil ulangan akhir semester (UAS)
dan Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) serta ujian akhir (US/UN) kepada orang tua
peserta didik dan menyampaikan rekapitulasinya kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota atau Kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota pada setiap
akhir semester; dan
13) Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS).
Selain jenis pelayanan pendidikan di atas, di kabupaten/kota
tertentu wajib menyelenggarakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan,
karakteristik, dan potensi daerah.
B. Manajemen Berbasis Sekolah.
Telah banyak usaha
peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak
begitu menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan,
hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan
mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
1.
Pertama,
kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran
pendidikan (output) terlalu
memusatkan pada masukan (input) dan
kurang memperhatikan pada proses pendidikan.
2.
Kedua,
penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan
tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan
pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan
kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur
menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan
kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau
meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
3.
Ketiga,
peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan
selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat
penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan,
pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Atas dasar pertimbangan tersebut,
perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen
Berbasis Sekolah (School Based
Management).
Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma
manajemen pemerintahan. Beberapa perubahan tersebut antara lain, Orientasi
manajemen yang sarwa negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat menjadi
pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk
mengatasi persoalan yang timbul.
1.
Orientasi
manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan kekuasaan
bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi
pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis.
2.
Sentralisasi
kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu
tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
3.
Sistem
pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi negara yang
sudah tidak jelas lagi batasnya (boundaryless
organization) akibat pengaruh dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa
akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan nasional saja kurang
menguntungkan dalam percaturan global.
4.
Fenomena
ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan
bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi
pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan.
Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak
efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Disamping
itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat
kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan
demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit
bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak
persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit
tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di
kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi terinci sbb:
1.
tuntutan
orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru
untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
2.
anggapan
bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam
meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
3.
ketidakmampuan
birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan
masyarakat yang beragam.
4.
penampilan
kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat.
5.
tumbuhnya
persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
Desentralisasi pendidikan,
mencakup tiga hal, yaitu;
1.
manajemen
berbasis lokasi (site based management).
2.
pendelegasian
wewenang
3.
inovasi
kurikulum.
Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan
semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi
pusat adalah konsekwensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian
wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan
kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi
semua peserta didik. Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik
di daerah atau sekolah. Pada kurikulum 2006 yang telah diberlakukan, pusat
hanya akan menetapkan kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi
minimal. Daerah diberi keleluasaan untuk
mengembangkan Silabus dalam acuan untuk
menyusun RPP nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan
daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat
erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah
yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian,
implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi
yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan
kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam
pembuatan keputusan.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang
dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting
untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam
anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El
Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada
sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi
pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika
pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin
tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem
sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria,
dan Zimbabwe.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah,
terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem
pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep
globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan
demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah
setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan
dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal.
Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan
kebudayaan nasional. Proses
belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan
kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial
sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat
pemersatu bangsa.
Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara
mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan
peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), apabila manajemen berbasis
lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan
pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana
sekolah itu berada. Ciri-ciri MBS, bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah
tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan SDM,
proses belajar-mengajar dan sarana prasarana yang tersedia hingga bisa
memanfaatkan ketersediaan sarana untuk dikembangkan. Maka sebagai acuan sekolah
yang memiliki Karakteristik Managemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai
berikut: Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen
yang harus dimilikinya, yaitu:
1.
kharisma
yang didalamnya termuat perasaan cinta antara Kepala Sekolah dan staf secara
timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya
dalam bekerja.
2.
memiliki
kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan
kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya.
3.
memiliki
kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual terhadap staf. Kepala
Sekolah mampu mempengaruhi staf untuk
berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru.
4.
Dengan
demikian, MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif sekolah dalam
program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi
luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tapi masih dalam
kerangka kebijakan pendidikan nasional. Tetapi semua ini harus mengakibatkan
peningkatan proses belajar mengajar. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip
MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab (high responsibility), kreatif dalam bertindak dan mempunyai
wewenang lebih (more authority) serta dapat dituntut
pertanggungjawabannya oleh yang ber-kepentingan/tanggung gugat (public
accountability by stake holders).
C. Tujuan, Kelebihan Dan Kekurangan
Manajemen Berbasis Sekolah.
Batasan Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan
strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mentransfer signifikan otoritas
pengambilan keputusan dari pusat ke setiap sekolah. MBS memberikan kepala sekolah,
guru, siswa, dan orangtua kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan
dengan memberikan mereka tanggung jawab atas keputusan-keputusan tentang
anggaran, personil, dan kurikulum.
Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola
sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional.
Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat bersama
dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan
sekolah. Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan
pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah
dan masyarakat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam
keputusan-keputusan kunci ini, MBS dapat menciptakan lingkungan belajar yang
lebih efektif untuk peserta didik.
1. Tujuan dari Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) antara lain:
1) Menyadari kekuatan, kelemahan, peluang,
dan ancaman bagi sekolah tersebut.
2) Mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan
masukan pendidikan yang akan dikembangkan.
3) Mengoptimalkan sumber daya yang tersedia
untuk kemajuan lembaganya.
4) Bertanggungjawab terhadap orangtua,
masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah.
5) Persaingan sehat dengan sekolah lain dalam
usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.
6) Meningkatkan peran serta Komite Sekolah,
masyarakat, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) untuk mendukung kinerja
sekolah.
7) Menyusun dan melaksanakan program sekolah
yang mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (pelaksanaan kurikulum),
bukan kepentingan administratif saja.
8) Menerapkan prinsip efektivitas dan
efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil, dan
fasilitas).
9) Mampu mengambil keputusan yang sesuai
dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari
pola umum atau kebiasaan.
10) Menjamin terpeliharanya fasilitas dan
sumber daya yang ada di sekolah dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
11) Meningkatkan profesionalisme personil
sekolah.
12) Meningkatnya kemandirian sekolah di segala
bidang.
13) Adanya keterlibatan semua unsur terkait
dalam perencanaan program sekolah (misal: Kepala Sekolah, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat, dll).
14) Adanya keterbukaan dalam pengelolaan
anggaran pendidikan sekolah.
15) Tujuan utama Manjemen Berbasis Sekolah
(MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan.
16) Dengan adanya MBS sekolah dan masyarakat
tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu
visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi
tersebut secara mandiri.
2. Kelebihan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).Menurut American Association of School
Administrators (AASA), Asosiasi Nasional Kepala Sekolah Dasar (NAESP), National Association of Secondary School
Principals (NASSP), dan sumber-sumber lain, manajemen berbasis sekolah
dapat:
1)
Memungkinkan
individu-individu yang kompeten di sekolah untuk membuat keputusan yang akan
meningkatkan pembelajaran.
2)
Berikan
seluruh komunitas sekolah suara dalam keputusan-keputusan penting.
3)
Fokus
akuntabilitas pengambilan keputusan.
4)
Mengarah
pada kreativitas yang lebih besar dalam perancangan program sumber daya untuk
mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5)
Mengakibatkan
penganggaran realistis sebagai orangtua dan guru menjadi lebih sadar akan
status keuangan sekolah, batasan pembelanjaan, dan biaya dari program.
6)
Meningkatkan
semangat guru dan memelihara kepemimpinan baru di semua tingkatan.
7)
Memberdayakan
sumber daya manusianya seoptimal mungkin.
8)
Memfasilitasi
warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali.
9)
Mendorong
kemandirian (otonomi) setiap warganya.
10) Memberikan tanggungjawab kepada warganya.
11) Mendorong setiap warganya untuk
"mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil kerjanya.
12) Mendorong adanya teamwork yang kompak dan
cerdas dan shared value bagi setiap warganya.
13) Merespon dengan cepat terhadap pasar
(pelanggan).
14) Mengajak warganya untuk menjadikan
sekolahnya customer focused.
15) Mengajak warganya untuk nikmat/siap
berhadap perubahan.
16) Mendorong warganya untuk berfikir sistem,
baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya.
17) Mengajak warganya untuk komitmen terhadap
"keunggulan kualitas".
18) Mengajak warganya untuk melakukan
perbaikan secara terus-menerus.
19) Melibatkan warganya secara total dalam
penyelenggaraan sekolah.
3.
Kekurangan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sebaik apapun program yang telah
dibuat tentu tidak luput dari kekurangan-kekurangannya. Beberapa
kekurangan/hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam
penerapan MBS adalah sebagai berikut:
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian
orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka
lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut
mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak
menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran.
Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa
untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan
berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya
untuk urusan itu.
2) Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang
dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali
lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan
sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada
hal-hal lain di luar itu.
3) Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat
bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di
satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu
sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis
hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada
saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya
karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang
berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman
menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar
tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan
bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab
Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6) Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan
model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya
koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan
berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali
menjauh dari tujuan sekolah.
D. Tugas dan Peran Kepala Sekolah.
Di dalam menjalankan tugas, kepala
sekolah adalah seorang pemimpin atau seorang manager yang perlu mengetahui
fungsi-fungsi manajemen. Kepala sekolah wajib membuat suatu perencanaan sekolah
setiap tahunnya. Perencanaan program sekolah tersebut yang menyangkut tujuan
yang dicapai, materi belajar baik yang bersifat akademis maupun yang bersifat
praktis, serta perencanaan tenaga pendidik baik yang ada maupun yang harus
dikontrak dari luar seperti tenaga pengajar keterampilan. Kemudian kepala sekolah
perlu melakukan pengawasan atau penilaian serta pengendalian terhadap seluruh
kegiatan di sekolah sesuai dengan program yang telah ditentukan setiap harinya.
Misalnya jika seorang guru kurang disiplin, kurang memberikan pananaman
nilai-nilai atau urang menguasai ilmu yang diajarkan, maka kepala sekolah perlu
mengambil tindakan perbaikan. Kepala sekolah dapat juga melakukan
pertemuan setiap harinya setelah jam sekolah selesai atau setiap awal bulan untuk
membicarakan/mengevaluasi
kembali berbagai hal sebagai pelaksanaan tugas supervisi.
Selain bertugas sebagai kepala sekolah
juga mempunya tugas sebagai seorang guru. Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas fungsi
sekolah adalah seorang yang profesioanal. Artinya seorang guru dituntut untuk
dapat melaksanakan tugas pembelajaran, dan edukasi. Di dalam melaksanakan tugas pembelajaran, guru harus menguasai ilmu yang diajarkan, menguasai
berbagai metode pengajaran, dan mengenal anak didiknya baik secara lahiriah
atau batiniah (memahami setiap anak).
Dalam pengenalan anak, guru dituntut untuk mengetahui
latar belakang kehidupan anak, lingkungan anak, dan tentunya mengetahui
kelemahan-kelemahan anak secara psikologis. Untuk itu, guru harus dapat menjadi
seorang "dokter" yang dapat melakukan "diagnosa" untuk
menemukan kelemahan-kelemahan si anak sebelum mengajarkan ilmu yang telah
dikuasainya. Setelah itu, baru dia akan memilih metode atau mengulangi sesuatu
topik sebagai dasar untuk memudahkan pemahaman si anak terhadap ilmu yang akan
diajarkan.
Misalnya seorang guru matematika akan mengajarkan topik pangkat bilangan, tentunya guru harus
mengetahui sejauh mana anak telah menguasai konsep perkalian. Dengan demikian,
seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus mampu; (1) berkomunikasi dengan
baik terhadap siapa audiensnya, (2) melakukan kajian sederhana khususnya dalam
pengenalan anak, (3) menulis hasil kajiannya, (4) menyiapkan segala sesuatunya
yang berhubungan dengan persiapan mengajarnya termasuk sipat tampil menarik dan
bertingkah laku sebagai guru, menguasai ilmunya dan siap menjawab
setiap pertanyaan dari anak didiknya, (5) menyajikan,
meramu materi ajar secara konkrit (metode pengajaran),
(6) menyusun dan melaksanakan materi penilaian secara objektif sesuai dengan
taksonomi Bloom dan mengoreksinya setiap harinya, dan lain sebagainya.
Untuk
itu, dituntut kreatifitas guru, keprofesionalan guru, memegang etika guru dan
tentunya dedikasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas keguruannya. Jika hal ini dilakukan oleh
masing-masing guru maka benarlah bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan profesional yang tak
mungkin dapat dilakukan oleh orang lain. Sementara itu kepala sekolah merupakan
orang tua bagi guru dan anak didiknya, salah satu hal penting yang dilakukan
orang tua sebagai perwujudan tanggung jawabnya adalah dengan menyekolahkan
putra-putrinya. Melalui sekolah orang tua berharap putra- putrinya dapat
berkembang dengan baik, dari segi kemampuan akademik maupun kepribadian (moral,
sikap, dan tingkah laku). Orang tua menyerahkan anaknya kepada guru di sekolah
untuk dididik dan di ajar, namun tidak diserahkan begitu saja tetapi masih
tetap mengawasi.
Guru juga patut mengubah paradigma
peran guru, karena gurulah yang berada di garda terdepan dalam menciptakan
sumber daya manusia. Guru berhadapan langsung dengan para peserta didik di
kelas melalui proses pembelajaran, oleh karena itu diperlukan sosok guru yang
mempunyai kualifikasi, kompetensi, dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas
profesionalnya ( Kusnandar, 2007:40)
E. Optimalisasi Partisipasi Masyarakat dalam
Pengelolaan Sekolah
Salah satu standar pelayanan minimal yang wajib dipenuhi oleh satuan pendidikan/sekolah adalah, bahwa Setiap satuan pendidikn menerapkan
prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS). Prinsip MBS ini antara
lain adalah otonomi sekolah (kemandirian), demokrasi, partisipasi, dan
akuntabilitas.
Agar sekolah dapat menyelenggarakan dan mengelola pendidikan sesuai dengan
SPM, maka selain dukungan dari pemerintah kota Tarakan melalui Dinas
Pendidikan, maka sekolah harus mendapat dukungan dari masyarakat, yaitu orang
tua siswa, masyarakat dan stake holder
pendidikan di Kota Tarakan. Dukungan atau partisipasi orang tua, masyarakat dan
stake holder ini dapat berbentuk
finansial (dana) atau yang dapat disetarakan dengan dana, dan berbentuk
non-finansial.
Selama ini partisipasi kepada sekolah selalu diasosiasikan atau dikaitkan
dengan dana, uang, atau sumbangan-sumbangan, atau pungutan-pungutan dari orang
tua . Memang sekolah memerlukan dana untuk melaksanakan program-programnya,
misalnya untuk kegiatan ekstrakurikuler, bimbingan belajar menghadapi ujian
nasional, kegiatan praktikum atau uji kompetensi, bahkan untuk ulangan atau
ujian. Sekolah sesungguhnya tidak perlu memungut dari orang tua apabila
pemerintah menyediakan semua dana yang diperlukan oleh sekolah agar dapat
beroperasi secara maksimal. Manakala semua kebutuhan akan dana untuk kepentingan operasional sekolah dan/atau untuk
kegiatan-kegiatan yang menunjang mutu sudah disediakan oleh pemerintah, maka
sekolah tidak perlu memungut lagi dari orangtua siswa. Demikian juga jika
kebutuhan untuk pembangunan sekolah, pengembangan sekolah, pengadaan sarana
prasarana sekolah, dan seluruh kebutuhan yang telah ditetapkan dalam SPM sudah
dipenuhi oleh pemerintah, maka sekolah tidak perlu meminta sumbangan dari
orangtua. Dengan demikian sekolah gratis sudah dapat direalisiasikan.
Akan tetapi kenyataannya, tidak semua pemerintah daerah memiliki dana yang
cukup untuk memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan, sehingga
sekolah dilarang untuk memungut atau meminta sumbangan dari orangtua. Walaupun
pemerintah pusat sudah menyediakan dana BOS dan pemerintah daerah sudah
menyediakan dana BOSDA, namun jumlah kedua dana BOS dan BOSDA tersebut masih dirasakan minim untuk sekolah yang
ditargetkan agar menghasilkan mutu pendidikan yang tinggi.
Oleh karena itu, mengingat keterbatasan pendanaan yang disediakan oleh
pemerintah, dan larangan untuk memungut dana dari orangtua siswa, maka sekolah
harus bisa menggalang partisipasi finansial dari masyarakat dan perusahaan-perusahan
yang ada di sekitar untuk keperluan penyelenggaraan pendidikan. Kepala sekolah
bersama dengan komite sekolah perlu menjalin kemitraan dengan masyarakat dan
perusahaan agar mereka memberikan bantuan baik dana untuk peningkatan mutu pendidikan, untuk
beasiswa, bagi siswa dan guru, untuk kegiatan pendidikan tertentu. Sehingga
dengan bantuan tersebut sekolah dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memenuhi
SPM satuan pendidikan, dan tidak memberatkan orangtua siswa, karena sekolah
tidak memungut dana dari orangtua. Oleh karena itu, kepala sekolah dengan kompetensi kewirausahaannya
dapat melakukan dan mencari terobosan bersama dengan Komite Sekolah untuk
membuat kemitraan dengan masyarakat dan perusahaan dalam bentuk kesepakatan
kerjasama antara pihak-pihak terkait.
Partisipasi
dari orangtua masih dapat digalang oleh sekolah dalam bentuk partisipasi
non-finansial. Orangtua dapat memberikan tenaga dan pikirannya atau keahliannya
untuk memajukan sekolah, atau membantu melakukan kegiatan tertentu dalam
penyelenggaraan pendidikan termasuk dalam perencanaan, penyelenggaraan,
pengawasan, sehingga sekolah dapat berjalan dengan baik.
Partisipasi orangtua dalam bentuk non-finansial dan
partisipasi masyarakat dan stakeholder
dalam bentuk finansial ini sejalan dengan salah satu prinsip MBS, yaitu
partisipasi. Tanpa adanya partisipasi, baik finansial atau non-finansial, maka
MBS menjadi pincang, tidak kokoh dan tidak bisa berjalan dengan maksimal.
Oleh karena itu, kepala sekolah harus bisa mengoptimalkan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidkan agar SPM
di satuan pendidikan dapat tercapai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada hakikatnya pendidikan dalam konteks
pembangunan nasional mempunyai fungsi sebagai pemersatu bangsa, penyamaan
kesempatan, dan pengembangan potensi diri. Standar nasional pendidikan memuat
kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang
dan jalur pendidikan mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan
karakteristik dan kekhasan programnya.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2003 tersebut mencakup 8 (delapan) lingkup, yaitu: Standar Isi, Standar Proses,
Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar
Sarana Prasarana, Standar Pembiayaan, dan Standar Pembiayaan Pendidikan. Semuanya itu bertujuan untuk menjamin
mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
merupakan salah satu bagian strategi dari sekian banyak strategi yang
diterapkan dalam pembaharuan terus menerus untuk meningkatkan mutu pendidikan
yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu
sistem sekolah, sangat
diperlukan pada era pembangunan maka tidak salah kalau manajemen berbasis
sekolah (MBS) dapat diterapkan dimasing-masing sekolah dengan alasan MBS sudah
lama diterapkan di negara Eropa dan Amerika dan terbukti efektif.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah strategi untuk
meningkatkan mutu pendidikan dengan menghilangkan
ororitas pengambilan keputusan dari pusat ke setiap sekolah, dengan MBS proses
sekolah akan tersusun sesuai kebutuhan masing-masing sekolah.
Berkaitan dengan tugas dan perannya dapat dikatakan bahwa tupoksi kepala
sekolah
sangatlah berat sehingga kepala sekolah
disebut sebagai EMASLIM, yakni Kepala Sekolah
sebagai Educator (Pendidik), Manager
(Menyusun Program, organisasi kepegawaian, menggerakkan staf,
mengoptimalkan SDM), Administrator
(Penatalaksanaan administrasi), Supervisor (upaya untuk membantu dan
mengembangkan profesional guru dalam menyusun, melaksanakan, dan memanfaatkan
hasil supervisi), Leader (Pemimpin), Inovator (adalah sosok pribadi yang
dinamis, kreatif), dan Motivator (pemberi semangat/dorongan untuk seluruh
komponen pendidikan dengan kemampuan mengatur lingkungan, suasana kerja,
menerapkan prinsip, memberi penghargaan, dan hukuman/sanksi).
B.
Saran:
Diharapkan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan
melalui pemberdayaan sekolah dalam rangka menjalankan program MBS, agar selalu mengadakan kerjasama
dengan komite sekolah, orang tua peserta didik dalam upaya lebih mengoptimalkan
program MBS sehingga akan lebih
meningkatkan pelayanan standar minimal di sekolah. Program MBS akan terlaksana apabila didukung
oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, integritas, dan kemauan yang
tinggi karena jika tidak MBS hanya akan menjadi eforia semata.
DAFTAR
PUSTAKA
Akib, Zainal, dan Rohmanto, Elham,
2007. Membangun Profesionalisme Guru
Dan Pengawas Sekolah. Bandung: CV.
Yrama Widya.
http://agupenajateng.net/2009/03/06/menjadi-kepala-sekolah-baru/
Kusnandar, 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Profil Kota Tarakan,2009. Tarakan Bumi
Paguntaka. Tarakan: Humas dan Komonikasi
Lucky Club Live: Review, Sign-Up Offer & Welcome Bonus
BalasHapusLucky Club is luckyclub a live betting website that offers a wide range of sports, table games, poker and games to its punters. This site is licensed and operated